>>tunggulah aku disisiNya, tenanglah<<
Dauzan Farouk (81 thn), sosok ini bukanlah seorang selebritis, bintang AFI atau idol yang setiap hari menghiasi layar teve. Dari tubuh rentanya telah terlahir sebuah pencerahan akan arti sesungguhnya yaitu berjuang. Di usianya yang telah sepuluh windu dia bersepeda membagikan buku untuk memberikan pencerahan ilmu sesungguhnya. Setiap lapisan masyarakat dia sentuh, mulai dari anak sekolah, mahasiswa, kuli pasar, tukang becak menjadi target konsumennya. Lewat tangan telatennya telah lahir taman bacaan MABULIR, Kauman, Yogya. Saat ini Mbah Dauzan (panggilan akrabnya) telah mengelola 27 pusat belajar. Hebatnya lagi semua biaya operasional dia tanggung sendiri dengan uang pensiunnya. Bahkan saat ini untuk mengaji dua orang karyawannya dia menggunakan uang simpanan yang sedianya akan digunakan untuk berhaji yang kedua kalinya.
Beginilah seharusnya generasi muda meneladani arti pejuangan untuk bangsa dari seorang Dauzan Farouk. Akan merasa kerdil diri ini jika dibanding dengan apa yang telah dilakukan mbah Dauzan.
Memang harus diakui bangsa kita saat ini sedang terpuruk, sakit yang akut. Namun bukan berarti tidak punya harapan untuk sembuh. Ada harapan tentang keindahan di esok hari. Ada pencerahan yang saat ini harus kita cari. Di pundak pemudalah semua itu tertumpu. Sanggupkah menerima tantangan itu? Anda sendiri yang akan menjawabnya.
Saat ini perpustakaan MABULIR yang dikelolanya masih aktif. Namun ada sedikit resah yang ditumpahkan oleh Erni Pratiwi,Drs. MM, putri sulung Dauzan Faruk saat berkunjung ke Rumah Dunia di bulan Agustus, sehari setelah menerima Paramadina Award 2005. Siapa gerangan yang akan meneruskan estafet perjuangan perpustakaan MABULIR (Majalah dan Buku Keliling Bergilir) yang selama ini Dauzan Farouk kelola. Putra putrinya semua tinggal di Jakarta. Sendiri Dauzan faruk mencurahkan cintanya untuk perpustakaan yang saat ini memiliki koleksi lebih dari 10.000 judul buku.
**Dalam penutupan peringatan World Book Day 2007 (29/4) di Diknas, seluruh komunitas yang hadir sepakat untuk memberikan penghargaan kepada beliau. Beliau, adalah seorang teladan yang menginspirasi komunitas dan relawan untuk berbuat lebih baik lagi.
Bapak kami, Dauzan Farook memang telah tiada. Sebelumnya ada keresahan diantara kami, anak-anaknya, tentang siapa penerus semangat pengabdian beliau kepada masyarakat. Keresahan itu terjawab sudah. Salah satu kakak kami, Tuti Amartiwi dibantu dengan beberapa relawan a.l : Asep, Uswatun, Umi, Deddhi, Sandra, Titik, Dian dan lainnya bersepakat menaruh komitmen kuat untuk meneruskan program-program Mabulir. Lokasi rumah belajar Mabulir kini memang tidak di Kauman lagi, tetepai mendekati masyarakat yaitu di desa Tegalwangi. Kebetulan ibu Hermin seorang tokoh pramuka dari Yogya, memberikan pinjaman sarana berupa tempat. Buku-buku juga bertambah banyak dengan judul yang up to date. Program belajar masyarakat dikembangkan sangat variatif. Dua minggu lalu diselenggarakan program pelatihan Kepemimpian Dasar, pesertanya 40 orang. Semangat Bapak tidak padam, tetap hidup diantara kami dan para relawan teman-teman kami itu.
ReplyDelete